Indragiri Hilir pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri, yang mencakup tiga kewedanan: Kewedanan Kuantan Singingi dengan ibukota Taluk Kuantan, Kewedanan Indragiri Hulu dengan ibukota Rengat, dan Kewedanan Indragiri Hilir dengan ibukota Tembilahan. Pada 20 November 1965, Indragiri Hilir resmi menjadi kabupaten yang terpisah dan berdiri sendiri di Provinsi Riau.
Dahulu, Kabupaten Indragiri merupakan satu kesatuan wilayah yang belum terpecah. Wilayah ini terdiri dari tiga kewedanan yang akhirnya terpisah, membentuk kabupaten-kabupaten baru, yaitu Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kabupaten Indragiri Hilir. Indragiri Hilir terletak di bagian selatan Provinsi Riau, berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan di utara, Kabupaten Tanjung Jabung Provinsi Jambi di selatan, Kabupaten Indragiri Hulu di barat, dan Provinsi Kepulauan Riau di timur.
Sebelum pemisahan tersebut, pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada 27 September 1938, Kerajaan Indragiri menandatangani Perjanjian Van Vrindchdaap dengan Belanda. Perjanjian ini menjadikan Kerajaan Indragiri sebagai wilayah Zelfbestuur yang dipimpin oleh seorang controller yang membawahi tujuh distrik, yaitu Tembilahan, Tempuling, Sungai Luar, Enok, Mandah, Gaung, dan Reteh.
Pendudukan Jepang
Pada 31 Maret 1942, selama pendudukan Jepang, wilayah Indragiri Hilir diduduki oleh pasukan Jepang yang masuk melalui Singapura dan Rengat. Pasukan Jepang dipimpin oleh Cun Cho yang membawahi lima distrik (Ku Cho), yaitu Tembilahan, Tempuling, Sungai Luar, Reteh, Mandah, dan Enok, dan menduduki wilayah ini selama lebih dari tiga tahun hingga Oktober 1945.
Indragiri Hilir, yang dahulu merupakan kerajaan, pernah dikuasai oleh Belanda dan Jepang sebelum akhirnya terbentuk menjadi tiga kabupaten yang kita kenal sekarang. Pada masa penjajahan Belanda, perjanjian Van Vrindchdaap menyebabkan Indragiri menjadi wilayah Zelfbestuur. Begitu pula saat Jepang menduduki Indragiri, mereka menggantikan controller Belanda dengan Cun Cho. Seiring dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia, rakyat Riau, termasuk yang berasal dari Indragiri Hilir, turut berjuang merebut kembali kemerdekaan yang telah dicaplok oleh penjajah.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, perjuangan tidak berhenti begitu saja. Belanda berusaha kembali menguasai Indonesia, yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda. Salah satu pahlawan yang terlibat dalam pertempuran di Indragiri Hilir adalah Letnan M. Boya. Letnan Boya, seorang pejuang yang berasal dari Indragiri Hilir, berjuang keras melawan penjajah Belanda, khususnya dalam pertempuran di Tembilahan dan sekitarnya.
Setelah Jepang Menyerah
Pada Agresi Militer Belanda I, setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Belanda memperkuat kekuatannya dan menduduki pos-pos strategis di Kepulauan Riau. Pasukan TNI pun memperkuat kedudukan di sepanjang pantai dan selat Sungai Indragiri, Sungai Guntung, Bekawan, Tanjung Ranggah, Perigi Raja, Concong Luar, Sungai Bela, Kuala Enok, dan Kuala Patah Parang.
M. Boya adalah seorang Letnan yang aktif dalam Barisan Pemuda Perjuangan (BPR) yang dibentuk oleh para pemuda Riau, termasuk bekas anggota Gyugun, Heiho, dan Kaigun. BPR ini akhirnya bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dikomandoi oleh Hasan Basri. Di Tembilahan, pada 9 Oktober 1945, dibentuk BKR Tembilahan dengan 29 anggota yang dipimpin oleh M. Boya.
Letnan M. Boya terlibat dalam pertempuran di Tanjung Kilang, yang terletak sekitar 60 mil dari Sungai Guntung. Pada 19 Juli 1946, pasukan yang dipimpin oleh Boya berhasil merebut kembali Tanjung Kilang dari penjajah setelah bertempur selama 12 jam. Perjuangan ini berakhir dengan kemenangan, yang ditandai dengan pengibaran bendera Merah Putih.
Pada awal 1949, kota Rengat dan Tembilahan telah diduduki oleh pasukan KNIL Belanda. Pasukan yang dipimpin oleh Kapten Marah Halim bergerak menuju Taluk Kuantan, membentuk pangkalan gerilya. Di Kuala Enok, pasukan yang dipimpin Letnan M. Boya juga membangun pertahanan di beberapa pos. Pada 28 Januari 1949, pesawat Belanda menyerang pemukiman di Kuala Enok. Pada malam harinya, Letnan Boya memeriksa pos-pos pertahanan dan memberikan perintah untuk mundur jika perlu.
Pagi hari, pada 29 Januari 1949, pasukan Belanda menyerang dengan tembakan jarak dekat. Letnan M. Boya, meskipun dalam keadaan berbahaya, tetap maju dan berusaha melawan Belanda seorang diri. Namun, dalam pertempuran tersebut, Letnan Boya gugur setelah tertembak, kemungkinan saat menyeberangi sungai. Jenazahnya ditemukan pada 30 Januari 1949 dan dimakamkan dengan upacara militer yang khidmat.
Dengan gugurnya Letnan M. Boya, perjuangannya sebagai pejuang di Indragiri Hilir berakhir, tetapi semangat juangnya tetap menginspirasi teman-teman seperjuangannya untuk melanjutkan perlawanan terhadap penjajah hingga kemerdekaan Indonesia sepenuhnya tercapai.